Menurut ilmu matematika yang dipahami oleh manusia, 1 + 1 = 2. Ini bisa terjadi semata-mata hanya karena adanya kesepakatan di antara manusia, demi kemudahan dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Dengan kompromi semacam itu, manusia mencoba untuk memahami lingkungannya. Bahkan, dengan kesepakatan itu manusia juga mencoba memanipulasi lingkungan demi kepentingannya sendiri, secara individu, berkelompok, sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Akan tetapi, menurut “matematika” Allah SWT tidak selalu begitu. 1 + 1 tidak selalu sama dengan 2. Cobalah kita simak gambaran berikut ini.


Seorang pria dan seorang wanita, yang diikat oleh tali perkawinan tidak selalu bermuara pada jumlah dua. Penjumlahan keduanya bisa menghasilkan nilai 0 jika setelah perkawinan itu keduanya kemudian mati. Hasil itu bisa menjadi 1 jika salah satu dari pasangan itu meninggal dunia. Penjumlahan itu bisa menjadi 3 jika dari keduanya terlahir seorang anak. Menjadi 4 jika keturunannya 2. Menjadi 5, 6, 7 dan seterusnya. Padahal, dari “penjumlahan itu” tidak ada yang berkurang dari keduanya. Dari keduanya “diambil” sesuatu, akan tetapi sesuatu itu juga tidak mengurangi keduanya. Dalam faktanya, seringkali timbangan badan sang ibu bahkan menjadi lebih berat daripada timbangan sebelum sang ibu itu hamil dan melahirkan. Begitu pula dengan sang ayah. Subhanallah! Itulah kekuasaan Allah SWT.

Artinya, apa yang dipahami manusia tidak lebih dan tidak kurang hanya terbatas pada apa-apa yang disepakati bersama di antara sesama manusia. Lebih dari itu, manusia tidak mengerti apa-apa. Bahkan jika Allah SWT berkehendak mengubah kesepakatan di antara sesama manusia itu sekalipun, maka 1 + 1 tidak akan pernah lagi menjadi 2. Ini sama dengan batalnya model angka romawi (I, II, III, IV dan seterusnya) yang gagal untuk menjadi salah satu kesepakatan besar manusia dalam ilmu matematika. Tidak ada satupun makhluk di alam semesta ini yang bisa mengubah jika Allah SWT telah menetapkan.

Hanya ada satu rumusan dari Allah SWT yang kemutlakannya telah dijamin oleh Allah SWT sendiri, rumusan itu adalah:

NIAT + IKHTIAR = HASIL

Rumusan itu adalah rumus mutlak setiap manusia dalam mencapai kebahagiaan, di dunia ini dan di akhirat nanti. Jika rumusan itu terbukti benar di dunia ini saja, maka semestinya kita tidak bisa mengelak lagi, itulah kebahagiaan yang sejati. Kita semua akan menyepakatinya, PASTI. Pasti, jika kita adalah sosok manusia yang masih bisa berpikir jernih. Maka, jika ada orang yang masih beranggapan bisa memperoleh HASIL di luar dari kerangka rumusan ini, kita bisa mengatakan bahwa orang itu sedang tidak waras. Sebab seorang nabi yang disayangi Allah SWT sekali pun, mengimplementasikan NIAT dan IKHTIAR.

Apa yang perlu kita pahami selanjutnya adalah memahami satu-persatu elemen dari rumusan itu. Dari pemahaman inilah insya Allah kita akan dapat dengan sangat jelas membuktikan, bagaimana lalai dan lengahnya kita sebagai manusia.

Hasil
HASIL, adalah wilayah mutlak Allah SWT. Kita, sebenarnya sudah sangat sering membuktikan kenyataan ini. Betapa banyak berbagai rencana tidak bisa memberi HASIL sebagaimana yang diinginkan. Betapa banyak IKHTIAR telah dilakukan dengan sempurna namun tak sampai jua kepada HASIL yang dicita-citakan. Betapa banyak NIAT yang dipandang telah tulus ikhlas tak bisa juga mencapai HASIL yang membahagiakan.

Kegagalan dalam memahami wilayah kemutlakan Allah SWT ini, menjadikan orang gila karena gagal mencapai HASIL idaman. Menjadikan orang membabi buta untuk memperoleh HASIL yang diinginkan. Menjadikan manusia menghalalkan segala IKHTIAR dan “IKHTIAR” untuk mencapai kebahagiaan. Itu semua terjadi karena lupa atau lalai atau tidak memahami bahwa HASIL adalah wilayah mutlak Allah SWT. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “manusia hanya merencanakan, Tuhanlah yang menentukan”.

Dengan kemutlakan-Nya, HASIL itu bisa positif atau negatif. Akan tetapi, berbahagialah kita sebagai manusia, telah diberi peluang untuk ikut menentukan pilihan HASIL, positif atau negatif.

Niat
NIAT adalah bagian mutlak wilayah Allah SWT yang kita diberi sedikit ruang untuk mengelolanya. Mengelolanya dengan hati dan akal kita sebagai manusia. Bersyukurlah kita atas kesempatan dan peluang yang diberikan-Nya ini. Betapa sedihnya kita jika terlahir atau bergeser menjadi manusia yang apatis, tak punya kemauan, tak punya NIAT. Sekalipun berakal.

Sebaliknya, jika kita tetap memiliki hati manusia, maka kita pasti akan sangat bersedih jika diciptakan menjadi manusia yang tidak mengenal Allah. Kita mungkin memilih lebih baik mati dari pada tercipta sebagai batu koral yang memiliki hati manusia tapi tidak berakal. Tak bergerak, tak bisa apa-apa, tak punya NIAT. Betapa menyedihkannya jika kita – dengan hati manusia ini, diciptakan sebagai syetan yang berakal kotor. Sebagai kecoa, sebagai tikus, atau sebagai sebuah mobil mewah. Berhati manusia, tapi tidak berakal.

Sebuah mobil yang mewah dan nyaman, akan sangat indah di mata kita. Bahkan ia juga bisa sangat indah di hati kita. Rata-rata kita jelas punya keinginan memilikinya. Itu boleh-boleh saja. Akan tetapi, pernahkah kita membayangkan diri kita sendiri menjadi si mobil itu, sementara sebagai mobil yang mewah kita punya hati manusia tapi tidak berakal manusia.

Kita tahu bahwa bergerak melakukan shalat adalah sebentuk kenikmatan yang tak terbayangkan, sementara sebagai mobil kita jelas tak bisa melakukannya. Kita juga bisa melihat betapa nikmat pemilik diri kita menunggangi kita kemana-mana dengan secercah senyum yang mencerminkan keberhasilan di dunia, sementara kita menyadari bahwa diri kita sebenarnya adalah bagian dari keberhasilan itu, akan tetapi tak bisa menyunggingkan senyum sedikitpun, karena kita tak berakal dan karena itu tidak mengetahui sedikitpun bahwa kita memang tidak punya mulut.

Sekalipun kita adalah mobil yang berakal dan berhati manusia, kita bisa memahami betapa nikmatnya bekerja ketimbang menganggur termangu-mangu tak tentu pikiran. Akan tetapi, sebagai mobil kita tidak bisa melaksanakan kerja berdasarkan NIAT kita sendiri. Kita akan bekerja hanya bila di-start. Hanya bila disupiri. Hanya bila diisi bensin dan hanya bila diberi roda. Kita memiliki NIAT, akan tetapi kita tidak bisa menindaklanjutinya sesuai akal dan hati kemanusiaan kita. Kita tidak memiliki kelengkapan anggota tubuh yang diperlukan untuk bisa melakukannya.

Maka, dilekatkannya NIAT pada diri manusia – dan tidak pada benda mati atau makhluk bernyawa yang lain selain manusia, adalah sebuah kenikmatan besar yang harus disyukuri tak habis-habisnya. Bersyukurlah, karena kita sebagai manusia diberi peluang untuk menikmati NIAT.

Dikaitkan dengan HASIL, maka NIAT harus mengikuti kemutlakan wilayah HASIL yang semata-mata milik Allah SWT itu. Jaminan akan HASIL - yang positif dan membahagiakan - hanya diberikan jika NIAT itu disesuaikan dengan tuntutan Allah SWT yang pemilik dan penentu HASIL. Akal kita tidak bisa menolaknya.

Faktor penyesuai itu adalah VISI untuk bertemu dengan Sang pemilik HASIL dengan wajah yang cerah dan sumringah di surga kelak, dan bukan menemui asisten-Nya yang dengan bengis dan kejam menyiksa kita di neraka selama-lamanya. Mungkin, itulah yang dimaksud dengan ungkapan “meluruskan NIAT”.

Ikhtiar
IKHTIAR, seperti juga NIAT, adalah bagian mutlak wilayah Allah SWT yang kita diberi sedikit ruang untuk mengelolanya. Bersyukurlah kita atas kesempatan dan peluang yang diberikan-Nya ini. Betapa sedihnya diri kita sebagai manusia, jika telah memiliki NIAT akan tetapi tidak diberi peluang untuk melakukan IKHTIAR dan mencapai HASIL yang membahagiakan. Dan kita mengetahui, sepanjang akal kita tidak gila dan masih tetap waras, maka peluang itu tetap diberikan-Nya. Kepada orang yang secara fisik lumpuh, buta, tuli atau tidak memiliki anggota badan yang utuh sekalipun, Allah SWT secara adil tetap memberi peluang itu, peluang untuk melakukan IKHTIAR.

Sekali lagi, seperti juga NIAT, jika kita punya cita-cita mencapai HASIL positif yang membahagiakan, maka IKHTIAR juga harus disesuaikan dengan kemutlakan wilayah HASIL. Tidak bisa tidak.

Faktor penyesuai itu adalah MISI sebagaimana yang telah difirmankan-Nya, yaitu segera melakukan sesuatu yang lain setelah melakukan sesuatu yang lain, jangan diam saja dan upayakan makin lama makin berkualitas. Mungkin, inilah yang dimaksud dengan ungkapan “menyempurnakan IKHTIAR”.

Jika kita sebagai manusia telah mencoba “meluruskan NIAT” dan “menyempurnakan IKHTIAR”, telah mencoba mempertahankan “kelurusan VISI” dan “kesempurnaan MISI”, maka insya Allah, kebahagiaan itu dijamin terpegang di tangan kita, di dunia dan di akhirat.

Matrikulasi Kebahagiaan
Sekarang kita coba untuk membuat matriks dari rumusan NIAT + IKHTIAR = HASIL. Kita coba untuk lebih membuktikan dan meyakini kemutlakan HASIL, serta bagian dari kemutlakan NIAT dan IKHTIAR.

NIAT IKHTIAR HASIL KESIMPULAN
DUNIA AKHIRAT
SURGA NERAKA

Bengkok

Tak Sempurna

Celaka
-
Celaka
Celaka Dunia Akhirat

Bengkok

Sempurna
“Bahagia”
-
Celaka
“Bahagia” Dunia Celaka Akhirat


Lurus

Tak Sempurna

Celaka
-
Celaka
Celaka Dunia Akhirat

Lurus

Sempurna
Bahagia
Bahagia
-
Bahagia Dunia Akhirat


Jika kita sebagai manusia, punya NIAT kemudian menjalani IKHTIAR dengan tidak mencoba meluruskan dan menyempurnakan keduanya, maka jelas kita adalah orang yang celaka. Kita adalah manusia yang menjadi korban dari segala bentuk IKHTIAR yang dilakukan melebihi IKHTIAR kita.

Jika kita sebagai manusia, punya NIAT yang bengkok dan kemudian menjalani IKHTIAR dan mencoba menyempurnakannya, maka tetaplah kita menjadi manusia yang celaka. Sebab, kita mungkin “bahagia” di dunia karena berhasil mencapai sesuatu, tapi celaka di akhirat. Kebahagiaan itu ternyata hanya dan hanya sesaat. Kebahagiaan itu tidak hakiki. Tidak lebih dan kurang hanyalah kebahagiaan yang begitu sempit karena dikungkung oleh dua tanda kutip, di muka dan di belakangnya. “Bahagia” yang telah menipu dan memperdaya untuk akhirnya tetap celaka.

Jika kita sebagai manusia, punya NIAT yang lurus tapi kemudian tidak mencoba untuk menyempurnakan IKHTIAR, maka kita juga akan menjadi manusia yang celaka. Bagaimana mungkin kita punya NIAT untuk bertemu dengan-Nya di surga akan tetapi kita tidak shalat? Bagaimana itu bisa dicapai jika kita tidak berpuasa? Bagaimana bisa, jika kita tetap melakukan apa-apa yang dimurkai-Nya?

Jika kita punya NIAT yang lurus dan kemudian selalu mencoba untuk menyempurnakan IKHTIAR, maka kebahagiaan itu akan tergenggam di tangan kita, teraih dan tercapai oleh kita, di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang mutlak.

Apa Kesimpulan Akhirnya?
Kita telah sama mengetahui bahwa HASIL adalah wilayah mutlak Allah SWT. Kita telah pula mengetahui bahwa NIAT dan IKHTIAR adalah hanya menjadi bagian dari kemutlakan-Nya, yang kita sebagai manusia diberi kesempatan untuk ikut mengelolanya. Jika NIAT dan IKHTIAR adalah hanya sebagian dari kemutlakan Allah SWT, maka rumusan NIAT + IKHTIAR = HASIL adalah rumusan yang memiliki kemutlakan yang lebih rendah dari kemutlakan Allah SWT yang sesungguhnya.

Dengan kata lain, kemutlakan rumusan itu tidak akan pernah bisa mengekang, mengungkung atau memasung kemutlakan Allah SWT yang sebenarnya. Dan tentang wilayah itu, kita tidak akan pernah bisa mencapainya.

Kita ambil contoh.
Kita mungkin akan merasa cukup berbahagia jika kita bisa melakukan sesuatu, sehingga ada banyak orang bisa dipermudah mendapatkan kebutuhan pokoknya. Sandang, pangan atau papan misalnya. Kita mengetahui pula bahwa terpenuhinya kebutuhan pokok itu akan cukup berpengaruh bagi perjalanan ibadah setiap orang tersebut. Maka, mulailah kita meluruskan NIAT dan kemudian ber-IKHTIAR dengan sempurna. Selanjutnya, sesaat sebelum upaya mempermudah orang lain itu mencapai target sesuai yang direncanakan, kita meninggal dunia. Setelah itu, ternyata terbukti bahwa apa yang direncanakan memang telah tercapai. Masihkah kita akan merasakan bahagia?

Berdasarkan rumusan di atas, sudah semestinya kita berbahagia. Akan tetapi, bukankah kita sudah tidak lagi ada di dunia? Ini artinya, kebahagiaan itu tidak terikat pada HASIL!

Sebagai manusia, atas setiap HASIL yang diberikan kepada kita di dunia ini, selalu saja kita akan meminta HASIL lainnya. Manusia selalu haus dan rakus akan HASIL. Begitulah, bahagia tidak melekat pada HASIL karena di dunia ini setiap HASIL cenderung tidak akan pernah memuaskan manusia.

Oleh sebab itu, kita simplifikasi saja. Sesungguhnyalah kebahagiaan itu hanya terikat pada “kelurusan NIAT” dan “kesempurnaan IKHTIAR” – secara kumulatif – saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Di luar itu, semata-mata dan mutlak milik Allah SWT saja.

Mulai sekarang, berhentilah terpedaya oleh HASIL. Berfokuslah pada “pelurusan NIAT” dan “penyempurnaan IKHTIAR”. Itulah bahagia yang sesungguhnya. Janganlah lagi kita dikendalikan oleh HASIL, sebab itu bukan wilayah kita. Bukan milik kita.

Categories:

Leave a Reply

Powered By Blogger